Selasa, 01 Oktober 2013

ASAL MULA CANDI PARI

            Candi Pari adalah sebuah peninggalan masa klasik di Indonesia di Desa Candi Pari, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur. Lokasi tersebut berada sekitar 2 km ke arah barat laut pusat semburan lumpur PT LAPINDO Brantas saat ini.
            Candi Pari merupakan suatu bangunan persegi empat batu bata, menghadap ke barat. Panjang keseluruhan candi ini sekitar 16 meter dengan lebar 14,10 meter dan tinggi 15,40 meter dengan ambang serta tutup gerbang dari batu Andesit. Dan di atas gerbang ada batu dengan angka tahun 1293 saka = 1371 Masehi. Merupakan peninggalan zaman Majapahit pada masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk 1350-1389 M. Atap candi yang telah runtuh berbentuk amluntah, masing-masing dihias dengan sumber dan menara kecil. Pada atap atau mahkota inilah terletak ciri unik candi Pari ini sebab bentuk mahkotanya sepenuhnya memakai pola Khemer atau Champa. Tak ada penjelasan kenapa candi ini memakai bentuk bangunan negeri Champa walaupun ada bukti bahwa 2 kerajaan di Asia Tenggara itu perna menjalin dengan Mojopahit pada awal abad 15. Menurut penelitian yang dilakukan pada jaman Belanda Candi Pari merupakan candi utama dari sekian jumlah candi lain yang berada di dalam satu komplek dengan pagar tembok, gapura, dan teras.
            Secara arsitektural, candi Pari mempunyai perbedaan dengan candi-candi lainnya di Jawa Timur. Perbedaan ini nampak pada bentuk fisik candi Pari yang agak tambun dan tampak kokoh seperti candi-candi di Jawa Tengah. Sedangkan jika kita bandingkan dengan arsitektur candi di Jawa Timur, umumnya berbentuk ramping. Selain itu, perbedaan juga nampak pada bentuk kaki, badan candi serta ornamen yang terdapat pada candi.

           
Add caption
            Dan asal mula didirikan candi Pari yaitu, pada jaman dahulu kala ada seorang tua yang bernama Kyai Gede Penanggungan yang hidup di pegunungan, ia mempunyai adik perempuan janda yang betempat tinggal di Desa Injingan, Kyai Gede Penanggungan mempunyai 2 anak perempuan, yang sulung bernama Nyai Loro Walang Sangit dan yang bungsu bernama Nyai Loro Walang Angin, keduanya berdiam dirumah Kyai Gede penanggungan. Sedangkan adiknya janda Injingan mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama Jaka Walang Tinunu, setelah dewasa ia amat tampan dan hormat kepada ibunya.
            Pada suatu hari Jaka Walang Tinunu minta ijin pada ibunya untuk  membuka hutan untuk tempat tinggal dan penggarapan sawah. Setelah itu ia berangkat bersama 2 temannya yaitu Satim dan Sabalong, mereka mulai membabat rimba di Kedung Soko arah utara Kerungkras dan arah selatan Candi Pari. Kemudian Jaka Walang Tinunu bersama adik anggkatnya yaitu Jaka Pandegalan beliau adalah aslinya sesosok jelmaan ikan yang ditolong oleh Jaka Walang Tinunu dan dianggap adik itu membuka tanah dan setiap hari mengolah tanah untuk lahan pertanian. Kemudian Jaka Walang Tinunu memikirkan soal bibit padi, tetapi ia menemui jalan buntu, sebab dia sangat miskin tidak punya apa-apa untuk membeli keperluan menggarap sawah. Tapi tiba-tiba ia ingat apa yang dikatakan ibunya dulu, tentang Kyai Gede Penanggungan, tetapi ia tak berani menyampaikan isi hatinya kepada Kyai Gede Penanggungan, maka permohonannya tentang bibit padi disampaikan kepada Nyi Gede yang selanjutnya disampaikan pada suaminya, namun Kyai Gede tak percaya bahwa bibit itu akan dipergunakan untuk bersawah.
            Jaka Walang Tinunu dan Jaka Pandelegan sangat kecewa karena permohonannya tidak dikabulkan, hanya diberi Mendang yang apabila disebarkan tidak akan tumbuh. Lalu kedua putrinya disuruh untuk mengambilkan Mendang tersebut, Karena kedua putrinya menaruh hati maka kesempatan ini tidak disia-siakan untuk mencampur bibit padi dengan Mendang yang akan diberikan itu.Lalu diserahkan kepada dua pemuda itu dan Kyai Gede Penanggungan mengatakan “ itulah bibitnya “.
            Setibanya dirumah, Jaka Walang Tinunu secepatnya Mendang yang didapatkannya  tersebut disebarkan disawah dengan mendapat ejekan dari Sabalong dan Satim, karena yang disebarkan itu tidak mungkin dapat tumbuh. Dan beberapa hari kemudian, ternyata tumbuhnya sangat baik, benar-benar seperti bibit sesungguhnya. kemudian waktu pemindahan tanaman tiba Jaka Walang Tinunu dan Jaka Pandelegan datang lagi pada Kyai Gede untuk mohon ijin agar kedua putrinya membantu menanam padi. Tetapi tidak dikabulkan oleh Kyai Gede malah marah dengan mengatakan bahwa kedua putrinya akan dipinang oleh Raja Blambangan, padahal keduanya sudah sama-sama mencintai, lalu kedua pemuda itu kembali pulang. Dan diam-diam kedua putri Kyai Gede melarikan diri untuk menyusul. Nyai Loro Walang Angin ingin jadi isterinya Jaka Pandelegan dan Nyai Loro Walang Sangit ingin jadi isterinya Jaka Walang Tinunu. Setelah Nyai Gede mengetahui kedua putrinya tidak ada lalu memberitaukan kepada Kyai Gede, lalu mengejar kedua putrinya dipaksa untuk kembali kerumah, tetapi ditolaknya. Sedangkan kedua pemuda itu tidak menghiraukannya karena kedua anaknya ikut atas kemauannya sendiri. Maka terjadilah suatu pertengkaran yang berakhir dengan kekalahan di pihak Kyai Gede, sehingga ia terpaksa pulang kembali tanpa bersama kedua putrinya. Sedangkan mereka berempat kembali melanjutkan perjalanan kembali ke Kedung Soko.
            Waktu tanaman berusia 45 hari sawah kekurangan air sehingga Jaka Walang Tinunu menyuruh Jaka Pandelegan menyelidiki air. Ketika sampai ditengah sawah berpapasan dengan seorang tua yang memerintahkan agar Jaka Pandelegan menghentikan perjalanannya, yang menyebabkan dia murka. Saat ia akan membunuh orang tua tersebut lalu ia jatuh pingsan. Ketika sadar sangatlah takut dan menanyakan tentang namanya. Lalu orang tua tersebut menjawab “ Namaku Nabi Kilir” pelindung semua air.  Kemudian orang tua itu memberikan nama kepada Jaka Pandelegan dengan nama Dukut Banyu, lalu berkata “Kalau kamu sudah selesai bertanam adakanlah selamatan apabila sawahmu berhasil dengan baik” Setelah itu orang tua menghilang. Waktu Jaka Pandelegan datang kembali kesawahnya ternyata sudah penuh dengan air yang melimpah sampai panen tiba.
            Dan kemudian tentang pemotongan Padi karena luasnya sawah dan baiknya jenis tanaman maka orang dari segala penjuru datang untuk ikut memotong padi tersebut. Juga diceritakan bahwa bagian muka padi dipotong bagian belakang yang baru saja dipotong sudah kelihatan ada tanaman padi yang sudah menguning, sehingga tidak ada habis-habisnya. Adapun hasil panen ditumpuk di penangan, Justru penangan tersebut tepat berada di tempat Candi Pari sekarang ini. Dan betapa banyaknya padi di penangan itu.
            Kemudian sementara itu kerajaan Majapahit mengalami paceklik.Pertanian gagal, banyak petani yang sakit. Lumbung padi dalam keraton yang biasanya penuh menjadi kosong, karena luasnya sawah yang terkena penyakit dan gagal panen. Ketika Prabu Brawijaya mendengar bahwa di Kedung Soko berdiam seorang yang bijaksana yang memiliki banyak padi. Maka diperintahkan kepada Patihnya untuk meminta penyerahan padi dan dibawakan perahu lewat sungai arah tengara Kedung Soko. Akhirnya Jaka Walang Tinunu bersedia untuk menyerahkan padinya kepada utusan sang Prabu, dan padi-padi tersebut diangkut ke tebing sungai dan selanjutnya dimuatkan pada perahu-perahu itu, walaupun berapa banyak perahu yang disediakan, namun padi yang disediakan di tebing tetap tidak muat sehingga tempat tersebut dinamakan desa Pamotan, Lalu padi dipersembahkan pada sang Prabu Brawijaya yang diterima dengan suka cita. Lalu sang Prabu menanyakan kepada sang Patih siapakah pemilik padi itu ? Maka sang Patih menjawabnya bahwa yang memiliki padi itu bernama “Jaka Walang Tinunu” anak seorang janda Ijingan.
            Selanjutnya Sang Prabu mengutus untuk memanggil Jaka Pandelegan beserta isterinya dengan maksud akan dinaikkan pangkat derajatnya. Dan apabila mereka tidak bersedia akan dipaksa tanpa menimbulkan cidera pada badannya bahkan jangan sampai menyebabkan kerusakan pada pakaiannya, Selanjutnya pula Sang Prabu menanyakan siapakah temannya yang bernama Jaka Pandelegan itu? Lalu Jaka Walang Tinunu menjawab bahwa Jaka Pandelegan yang dianggap sebagai adiknya itu adalah berasal dari ikan.
            Ketika Patih datang menyampaikan panggilan ia menolak, sekalipun dipaksa tetap membangkang yang selanjutnya menyembunyikan diri di tengah-tengah tumpukan padi pada penangan itu. Dan sewaktu sang Patih berusaha untuk menangkap dan mengepung tempat itu, maka Jaka Pandelegan menghilang tanpa bekas. Setelah menghilangnya sang suami, Nyai Loro Walang Angin yang membawa kendi berpapasan dengan patih disuatu tempat, sewaktu akan ditangkap berkatalah ia “Biarlah saya terlebih dahulu mengisi kendi ini disebelah barat daya penangan itu” Dan saat tiba disebelah timur Sumur, maka hilanglah istri Jaka Pandelegan itu.
            Setelah suami isteri itu hilang Sang Patih pulang kembali untuk melaporkan peristiwa itu kepada Sang Prabu. Mendengar kejadian itu Baginda sangat kagum atas kecekatan Jaka Pandelegan dan isterinya itu. Yang akhirnya Sang Prabu Brawijaya mengeluarkan perintah mendirikan dua buah candi untuk mengenang peristiwa hilangnya suami isteri itu. Maka didirikanlah dua buah candi, yang satu didirikan dimana Jaka Pandelegan hilang yang diberi nama CANDI PARI, sedangkan candi yang satunya didirikan ditempat dimana bekas Nyai Loro Walang Angin menghilang dengan diberi nama CANDI SUMUR
Demikian cerita singkat Asal usul berdirinya candi Pari yang terletak di desa Candi Pari Kecamatan Porong Kabupaten Sidoarjo.

2 komentar: